The Sadden Child

Aku menatap Abi lemah. Ku pandangi kerut-kerut di wajahnya. Ku pegang tangan lemahnya. Hatiku miris melihatnya tertidur pulas. Ada perasaan geram di hatiku. Teganya mereka.
            Sudah tiga hari kami terombang-ambing tak tentu arah di tanah kami sendiri. Air mataku meleleh. Ku seka dengan tangan kotorku. Namun air mataku terus meleleh. Ku hapus paksa dari pipiku.Hingga debu-debu tanah masuk ke dalam mataku. Mataku terasa perih. Biar! Biar sakit ini terus berlangsung. Biar mataku buta sehingga aku tak dapat melihat lagi perbuatan-perbuatan keji orang-orang itu. Orang-orang yang membuat keluargaku pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Ku gosok terus mataku. Tiba-tiba ada sebuah tangan memegang tanganku. Aku terlonjak kaget.
            “Kenapa matamu Aisyah?” terdengar sebuah suara berwibawa yang begitu aku kenal. Suara yang begitu aku sukai. Suara yang sekarang begitu serak hampir tak terdengar.
Aku menggeleng pelan. Ku lepaskan tanganku dari mataku. Ku pandang wajah lembut itu. Hatiku miris.
            “Abi, abi kenapa bangun?” tanyaku pelan kepada pria itu.
            ‘Abi melihat Ummi, Aisyah. Ummi mu begitu bahagia disana. Abi lebih ikhlas Ummi dan adik mu pergi dari sini. Mereka terlalu baik untuk disakiti,” Abi menjawab pertanyaanku. Pandangannya kosong menatapku. Pipiku terasa dialiri tetesan hangat dari mataku.
            “Abi, Aisyah rindu pada Ummi dan Hafiz. Aisyah yakin Ummi dan Hafiz pasti bahagia bersama Tuhan disana,” Abi tersenyum mendengar kata-kataku.
           
Pikiranku pun melayang. Masih segar di ingatanku kejadian tiga hari yang lalu. Ketika itu kami sekeluarga sedang berada di dalam rumah. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat. Dan kemudian pintu rumah kami diketuk oleh seseorang dari luar. Ummi terkejut. Kemudian berlari membukakan pintu. Dilihatnya beberapa orang asing berada di depan pintu. Belum sempat Ummi bertanya, mereka memaksa masuk dan mendekap Ummiku. Aku sedang berada di ruang tengah terkejut ketika melihat ke ruang tamu. Abi menarikku dan memaksaku bersembunyi bersama Hafiz. Aku diperintahkan Abi masuk ke dalam kamar mandi dan bersembunyi ke dalam bak mandi. Abi kemudian menghidupkan kerannya untuk mengelabui mereka yang aku tak tau siapa. Namun adikku menangis meminta ikut  bersama Abi. Ia tidak mau bersembunyi. Ia berlari mengikuti Abi. Abi memeluknya mengajak ke dalam. Adik laki-laki ku yang sedang dalam dekapan Abi tiba-tiba ditembak dari jauh. Darah berceceran di mana-mana. Abi memandang Hafiz. Tampak rona geram diwajahnya. Abi kemudian berlari ke ruang tamu dan kemudian aku tak tau apa yang terjadi selanjutnya. Aku hanya bisa menangis. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? batinku
            Tak berapa lama terdengar suara tembakan dari luar. Jantungku berdetak kencang. Aku terkulai lemas di dalam bak yang airnya sudah hampir diatas bahuku. Setelah keadaan sepi, aku keluar dengan jantung yang berdetak keras menuju ruang tamu. Tubuhku bagai tersengat aliran listrik ketika kulihat darah berceceran dimana-mana. Ummi tergeletak penuh darah, mata Abi terpejam bak tak bernyawa dan adikku yang berlumuran darah dengan mata terbuka. Aku terduduk lemas seketika. Kudekati tubuh abi Air mataku turun dengan deras. Aku terisak-isak melihat abi dan adikku.
Tiba-tiba tanganku dipegang dengan keras oleh seseorang. Aku tersentak. Ku lihat ternyata tangan abi memegangku. Abi masih hidup!! Berkali-kali aku mengucapkan puji syukur kepada Tuhanku. Ku angkat kepala abi,ku bersihkan wajahnya dari darah. Ku

perhatikan ternyata hanya kakinya yang terkena tembak orang-orang yang tak ku kenal. Mereka mengira tembakan mengenai bagian penting abi. Ternyata perkiraan mereka meleset.
           
Aku tersadar, pikiranku kembali ke saat ini. Ku benarkan letak jilbabku yang begitu lusuh. Ku pandang pakaianku yang sangat kumal. Sobekan ada disana-sini. Sudah tiga hari sejak kejadian itu kami pergi meninggalkan rumah. Bersembunyi ke tempat yang kami anggap aman. Seperti saat ini, kami berada di sebuah gua di gurun yang tertutup batu besar. Abi membawa ku kesini. Abi menyuruhku untuk tetap disini. Sedangkan Abi sembunyi-sembunyi mencari sesuatu yang dapat dimakan untukku dan menghabisi orang-orang biadab itu. Aku pernah bertanya pada Abi sebenarnya apa yang terjadi. Abi hanya menggeleng dan memelukku erat serta mendesah kecil, “Musuh datang nak. Kita perang lagi,” Abi kemudian meneteskan airmatanya. Sejak itu aku takut bertanya padanya tentang ini. Aku takut Abi menangis lagi.  Dini hari beliau berangkat dan kembali pada malam hari. Setiap kali beliau pulang, selalu bertambah luka ditubuhnya. Hatiku begitu sedih melihatnya, sedangkan aku tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya doa yang dapat aku panjatkan untuknya.
            Seperti pagi ini abi akan berangkat lagi.
“Aisyah, Abi akan berangkat sekarang”, Abi mengelus kepalaku lembut. Kupandangi wajah abi sesaat lalu mengangguk
“Tetap berlindung disini. Abi tak ingi engkau ditemukan mereka,” aku menganggguk lagi. Aku merasa seperti seorang penyeludup di daerah sendiri yang ketakutan apabila ketahuan berada disini oleh penguasa. Abi mengucapkan salam kemudian keluar.
            Ku pandangi kepergiannya. Ada perasaan tidak rela dalam hatiku melihat kepergiannya. Abi bilang Abi sedang jihat untuk negaranya. Karena Abi adalah army negara.
            Aku masih memandangi Abi dari kejauhan. Dan tak berapa lama, kulihat segerombolan orang mnghadang Abi. Ku liha tak terlalu jelas diantara kegelapan dini hari bendera yang mereka bawa berwarna putih dengan dua garis biru atas dan bawah serta satu buah bintang besar di tengahnya. Aku yakin itu bukan bendera bangsaku. Karena benderaku berwarna hitam, putih, hijau dan merah. Aku seperti pernah melihat bendera itu. Ibu Guru Madrasah Sanawiyahku pernah memberi tahuku disekolah.
Oh…. Aku ingat itu bendera negara apa. Israel !!!!!
            Ku lihat apa yang mereka lakukan pada Abi. Abi dipukul berulang kali oleh mereka, ditembak beberapa kali dan sekarang diseret dengan mobil mereka. Aku terperanjat. Tiba-tiba aku berlari mengejar mereka. Aku pun berteriak memanggil Abi dengan keras. Salah satu dari mereka  tersenyum padaku sambil mengambil sesuatu dan menunjukkan tepat kearah ku. Dan detik berikutnya aku mendengar suara tembakan. Aku merasakan sesuatu di kepalaku. Kemudian pandanganku mulai gelap dan hitam. Aku pun terjatuh mencium tanah air ku.



Terkisah Untuk Mereka ,             
Saudara Kita Disana

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...